![]() |
Sumber: http://bit.ly/MHlY7y |
Kenapa judul postingan gw
ini ‘a choice?’
Pilihan. Sketsa kenangan
membawa gw saat masih abege dan mengenakan seragam putih abu-abu. Hehehe.. pada
masa itu adalah masa paling mengesankan bagi seorang Zulfahmi Khairul Umam dan
tentunya bagi remaja lain. Kenangan gw yang muncul adalah bukan ketika gw
tertawa lepas bersama sahabat baik gw namun kenangan itu adalah saat gw belajar
mengenai HAM. Bukan sok idealis mentang-mentang mantan anak lembaga, namun begitu
lekat dalam alam bawah sadar gw tentang hak utama seorang individu adalah hak
hidup. Lalu apa hubungannya dengan pilihan?
Banyak orang mengatakan
dan gw pun setuju bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Setiap orang sangat berhak
untuk hidup otomatis sangat berhak pula untuk memilih, bukan? Memilih bukan sekedar
membalikan telapak tangan, terlebih pilihan itu berbobot 50:50 dan mempunyai
resiko yang sama besarnya. Kita harus cerdas dan bijak untuk mengambil salah satu
opsi dari masalah tersebut. Setiap orang juga berhak mengungkapkan pendapatnya
di muka umum, bukan? Nah, hal itu yang agak sedikit mengganggu gw beberapa hari
belakangan. Kebebasan bersuara kini agak rancu. Terlebih pada era kini media
sosial begitu membumi dan terdengar gaungnya kemana-mana. Saat gw menuliskan
sebuah kalimat pada akun pribadi gw, maka tulisan tersebut akan dibaca oleh
orang yang kebetulan lewat atau yang ‘sengaja’ ingin mampir. Gw sering
mengatakan bahwa adalah wajar dengan persepsi orang yang berbeda-beda sehingga
menimbulkan multitafsir.
Pada suatu ketika gw
menulis dalam akun twitter pribadi gw kalimat ini: Setiap orang berhak untuk memilih dengan siapa dia merasa nyaman.. Yg
penting, senyuum.. J #testimoni. Agak menggelikan
memang, ketika salah satu followers gw yang juga teman baik gw selama ini
merasa terganggu dengan kicauan itu. Padahal sebenarnya kalimat absurd itu gw
tulis untuk orang lain.
Sekali lagi gw katakan,
pilihan. Sang empunya rasa berhak menganggap kicauan itu untuk dirinya karena
memang tidak ada tujuan yang jelas untuk siapa testimoni tersebut. ia juga
berhak untuk memilih untuk menanggapi atau mengabaikan. Pada akhirnya ia
memilih untuk menanggapi, ia juga berhak untuk menggunakan kata-kata menyejukkan
atau kata-kata pedas yang bertubi-tubi dan agak melukai hati. Pilihan. kini
pada akhirnya tinggal gw yang harus menahan diri ekstra sabar melihat kicauan
pedas bertubi-tubi—yang gw merasa—itu ditujukan untuk gw. #kepedean. Pilihan ya
masbro. Anda juga berhak memilih untuk mengabaikan psikologis orang lain atau
tidak. Hehehe.. J
Beberapa jam sebelum gw
menulis cerita ini, gw mengamati sebuah wadah Kristal penuh kehidupan. Di dalamnya
gw melihat makhluk kecil berkulit emas menari-nari dengan lincah mengepakkan
sirip mungilnya. Pikiran gw seketika terbawa ke dunia khayal mencari sebuah
jawaban mengapa mereka nyaman hidup dalam kotak kecil yang membatasi ruang
gerak mereka. Nyaman? Ya, buktinya mereka bergerak lincah kesana kemari. Kalo bete
kan pasti diem aja. Hehehe... Mereka juga hidup rukun hidup bersama tanpa
saling menyakiti. Dari situ gw mendapatkan sebuah kesimpulan bijak karangan
gw sendiri bahwa makhluk mungil itu tampak nyaman bergerak kesana kemari
karena mereka mereka saling menguatkan dan saling pengertian. Seperti keluarga
yang saling menguatkan ketika tertimpa musibah, misalnya.
Kembali lagi kepada
sebuah pilihan. Hiduplah dengan damai. Kau tak melakukan apapun maka kau juga
tak akan mendapatkan apapun. Kau melakukan sesuatu maka kau juga akan
mendapatkan sesuatu. Berpikirlah lebih rasional dan jangan hanya mengutamakan
emosional.. -- @fahmiirul.
Yang upstat di twitter tadi ma karena memang kita mesti pakai pilihan kata yang sekiranya tidak membuat orang terganggu. Ya memang hak hidup kita untuk melakukan sesuatu. Seperti yang kamu katakan. Pilihan. Tapi tentulah kita harus melihat rangsang dan respon yang positif maupun negatif.