A Choice

Sumber: http://bit.ly/MHlY7y
Setelah sekian lama gw fakum dari aksi tulis menulis gak jelas di blog ini sekarang gw kembali mengajak jemari gw buat sedikit berolahraga lompat indah di atas keyboard komputer jinjing kesayangan gw. Beberapa waktu yang lalu setelah gw demisioner dari kepengurusan Lembaga Eksekutif Mahasiswa sebenernya jemari ini sudah merengek untuk diajak menari menciptakan sebuah gerakan indah namun agaknya otak gw atau feel gw untuk menulis sedang dalam zona nyamannya meringkuk di dalam selimut tebal dan enggan untuk menampakkan wujudnya. Gw pernah mendengar pada suatu kesempatan bahwa menulis itu adalah menciptakan sebuah kekuatan. Gw gak begitu meresapi makna dari kalimat tersebut tapi gw merasa sang motivator ada benarnya. Dalam akal sehat gw merasa bahwa kekuatan itu adalah kekuatan imajinasi untuk melihat kenyataan bahwa kita mempunyai teman walau hanya sekedar kotak elektronik bersistem operasi. Saat kita merasa bahwa keadaanlah yang menyisihkan kita dari jabatan erat persahabatan maka dengan menulis kita menciptakan kawan dan dunia yang nyaman untuk kita singgahi. Agak galau ya, mohon dimaklumi. Hehehe..

Kenapa judul postingan gw ini ‘a choice?’
Pilihan. Sketsa kenangan membawa gw saat masih abege dan mengenakan seragam putih abu-abu. Hehehe.. pada masa itu adalah masa paling mengesankan bagi seorang Zulfahmi Khairul Umam dan tentunya bagi remaja lain. Kenangan gw yang muncul adalah bukan ketika gw tertawa lepas bersama sahabat baik gw namun kenangan itu adalah saat gw belajar mengenai HAM. Bukan sok idealis mentang-mentang mantan anak lembaga, namun begitu lekat dalam alam bawah sadar gw tentang hak utama seorang individu adalah hak hidup. Lalu apa hubungannya dengan pilihan?

Banyak orang mengatakan dan gw pun setuju bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Setiap orang sangat berhak untuk hidup otomatis sangat berhak pula untuk memilih, bukan? Memilih bukan sekedar membalikan telapak tangan, terlebih pilihan itu berbobot 50:50 dan mempunyai resiko yang sama besarnya. Kita harus cerdas dan bijak untuk mengambil salah satu opsi dari masalah tersebut. Setiap orang juga berhak mengungkapkan pendapatnya di muka umum, bukan? Nah, hal itu yang agak sedikit mengganggu gw beberapa hari belakangan. Kebebasan bersuara kini agak rancu. Terlebih pada era kini media sosial begitu membumi dan terdengar gaungnya kemana-mana. Saat gw menuliskan sebuah kalimat pada akun pribadi gw, maka tulisan tersebut akan dibaca oleh orang yang kebetulan lewat atau yang ‘sengaja’ ingin mampir. Gw sering mengatakan bahwa adalah wajar dengan persepsi orang yang berbeda-beda sehingga menimbulkan multitafsir.

Pada suatu ketika gw menulis dalam akun twitter pribadi gw kalimat ini: Setiap orang berhak untuk memilih dengan siapa dia merasa nyaman.. Yg penting, senyuum.. J #testimoni. Agak menggelikan memang, ketika salah satu followers gw yang juga teman baik gw selama ini merasa terganggu dengan kicauan itu. Padahal sebenarnya kalimat absurd itu gw tulis untuk orang lain.

Sekali lagi gw katakan, pilihan. Sang empunya rasa berhak menganggap kicauan itu untuk dirinya karena memang tidak ada tujuan yang jelas untuk siapa testimoni tersebut. ia juga berhak untuk memilih untuk menanggapi atau mengabaikan. Pada akhirnya ia memilih untuk menanggapi, ia juga berhak untuk menggunakan kata-kata menyejukkan atau kata-kata pedas yang bertubi-tubi dan agak melukai hati. Pilihan. kini pada akhirnya tinggal gw yang harus menahan diri ekstra sabar melihat kicauan pedas bertubi-tubi—yang gw merasa—itu ditujukan untuk gw. #kepedean. Pilihan ya masbro. Anda juga berhak memilih untuk mengabaikan psikologis orang lain atau tidak. Hehehe.. J

Beberapa jam sebelum gw menulis cerita ini, gw mengamati sebuah wadah Kristal penuh kehidupan. Di dalamnya gw melihat makhluk kecil berkulit emas menari-nari dengan lincah mengepakkan sirip mungilnya. Pikiran gw seketika terbawa ke dunia khayal mencari sebuah jawaban mengapa mereka nyaman hidup dalam kotak kecil yang membatasi ruang gerak mereka. Nyaman? Ya, buktinya mereka bergerak lincah kesana kemari. Kalo bete kan pasti diem aja. Hehehe... Mereka juga hidup rukun hidup bersama tanpa saling menyakiti. Dari situ gw mendapatkan sebuah kesimpulan bijak karangan gw sendiri bahwa makhluk mungil itu tampak nyaman bergerak kesana kemari karena mereka mereka saling menguatkan dan saling pengertian. Seperti keluarga yang saling menguatkan ketika tertimpa musibah, misalnya.

Kembali lagi kepada sebuah pilihan. Hiduplah dengan damai. Kau tak melakukan apapun maka kau juga tak akan mendapatkan apapun. Kau melakukan sesuatu maka kau juga akan mendapatkan sesuatu. Berpikirlah lebih rasional dan jangan hanya mengutamakan emosional.. -- @fahmiirul.
1 Response
  1. Yang upstat di twitter tadi ma karena memang kita mesti pakai pilihan kata yang sekiranya tidak membuat orang terganggu. Ya memang hak hidup kita untuk melakukan sesuatu. Seperti yang kamu katakan. Pilihan. Tapi tentulah kita harus melihat rangsang dan respon yang positif maupun negatif.


    Pengikut