Kisah Loper Koran


Sebuah keluarga kecil mengontrak dibelakang rumahku. Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami isteri dan 3 orang anak. Dua perempuan, dan seorang anak laki-laki.  Dalam rumah petak tersebut mereka hidup dengan kesederhanaan. Berharap dapat hidup bahagia seperti keluarga lainnya, namun apa daya hanyalah sebuah harapan hampa. Anak perempuan tertuanya seumuran denganku, lulus dari SMU dan tidak melakukan kegiatan apa-apa. Kuliah tidak, kerja pun tidak. Kesehariannya hanya pergi bersama pacarnya dengan pakaian minim.

Bukan masalah jika Ayahnya adalah seorang yang berpenghasilan lebih, namun apakah dia tidak menyadari profesi Ayahnya hanyalah seorang loper koran. Berangkat sebelum matahari terbit unruk mengambil koran ke agen, dan mengayuh sepeda sejauh puluhan kilometer dengan tubuh kurus berbalut kulit yang terbakar matahari.

Aku tidak bisa membayangkan betapa berat perjuangannya untuk menghidupi keluarga. Membiayai anak yang sedang menempuh pendidikan tentulah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tak jarang ia terlambat membayar uang sewa kontrakan karena uang tersebut digunakan untuk keperluan anaknya sekolah. Pernah pada suatu hari ia membayar uang sewa padaku, kemudian dua jam kemudian uang itu dimintanya kembali untuk membayar uang ujian anaknya. Karena merasa iba, Ayahku memberikan kembali uang itu pada si loper koran.

Sebagai tetangga, aku merasa prihatin melihat kondisi keluarga tersebut. Kerja keras membanting tulang demi keluarga, tidak sebanding dengan yang ia dapat dari keluarganya. Tidak ada rasa syukur dari anak-anaknya atas jerih payah sang Ayah. Mereka cuek seakan tugas Ayah hanyalah mencari uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Anak sulungnya perempuan, seumuran denganku. Sudah kukatakan diatas bahwa ia tidak berkegiatan. Aku mengerti kondisi keluarga mereka, (maaf) mungkin dunia perkuliahan telah menjadi daftar hitam dari pilihan hidupnya, namun bisakah ia bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya? Bukan berlagak sok jadi orang kaya dengan ponsel yang tidak pernah lepas dari tangannya. Atau pergi pagi-pagi dengan celana pendek ketat, pulang menjelang zuhur, kemudian pergi lagi menjelang ashar dan pulang kerumah jam 11 malam. Wajar jika masyarakat berpikiran negatif tentangnya. Kakak perempuanku pernah bertemu dengannya jam 11 malam, bersama seorang pria di tempat gelap. Rupanya ia baru pulang dari acara temu kangen dengan kekasihnya.  

Orang lain pun akan merasa jengkel saat melihat gadis itu dipagi hari, duduk di depan pintu rumah kontrakannya sambil membaluri lotion di betisnya, padahal dari luar terlihat kasur tempat ia tidur yang masih berantakan. Mencuci piring bekas ia makan pun tak mau dilakukan. Namun penilaian orang lain akan berbeda 1800 jika melihat Ayahnya, si loper koran. Terlihat sesosok yang berjuang keras mengayuh sepeda demi mengantarkan koran ke langganannya, dengan tubuh kurus bermandikan jutaan butir peluh yg menetes. Aku pernah bertemu dengan si loper koran pada suatu siang yang sangat terik. Ia berjuang sekuat tenaga menuntun sepedanya melalui jalan yang menanjak curam. Aku ingin membantunya namun kondisi jalan tidak memungkinkan untuk memarkir motorku. Akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan sambil berdoa semoga ia diberi kekuatan dan ketabahan.

Lalu bagaimana dengan anak keduanya??
Anak kedua juga seorang perempuan. Duduk dibangku SMP dengan perilaku yang tidak ubahnya seperti sang kakak, namun tidak terlalu parah, dan anak ketiganya duduk dibangku SD, ia tinggal bersama neneknya dikampung, namun tiap bulan sang Ayah mengirimkan uang untuk membantu biaya pendidikannya.

Usut punya usut, Ibu yang tinggal bersama mereka (isteri loper koran) adalah Ibu tiri. Ia sudah tidak sanggup berbuat apa-apa menghadapi perilaku kedua anak perempuannya.

Meskipun banyak orang mengatakan bahwa surga ditelapak kaki ibu, bukan berarti kita harus mengabaikan perjuangan seorang Ayah, karena tanpa seorang Ayah, kita tidak mungkin diciptakan tuhan. Dan meskipun yang tinggal bersama kita bukanlah ibu kandung, ia tetap orang tua yang harus kita hormati selama ia menyayangi kita dengan tulus hati. (sok tau bgt.red)

Ya, itulah tulisan sampah yang dapat kubuat, semoga bermanfaat dan kalian merasa terhibur.

Komentar, kritik, dan sarannya ditunggu ya. ^_^ heheh..
1 Response
  1. Sebelum kritik, boleh bertanya? Apa itu kisah nyata yang kau jadikan cerpen atau curahan hati belaka? Salam kenal.


    Pengikut