Random

Note: cerita ini hanyalah fiktif belaka, dan maaf sebelumnya kalau ceritanya gak bagus. hehe..

RANDOM

Aku, seorang pemuda putus asa. Duduk sendiri di atas batu karang sambil memandangi deburan ombak yang menghempaskan kekuatannya. Begitu dahsyatkah kekuatan itu hingga mampu membelah lautan yag tenang?
Kontras dengan apa yang ku lihat di langit. Sebuah harmoni yang indah, penuh warna. Aku mengagumi keindahannya, membelah atmosfir bumi dengan keidahan dan kedamaian. Tanpa mengeluarkan kekuatan yang dahsyat, ia mampu menghipnotis jutaan mata manusia dengan keindahannya. Aku masih memandangi lautan hingga bola besar yang membakarku seharian kini seakan kehilangan kekuatannya. Ia berubah merah dan perlahan meninggalkanku yang mematung sedari tadi.
Aku kembali melihat ke langit, anak-anak langit bersorak kegirangan setelah bola besar itu pergi, mereka sangat banyak dan memancarkan cahaya yang indah. Mereka membentuk satu untaian panjang, sepanjang langit yang kulihat membentang tanpa ujung. 

**
Seorang wanita berjilbab duduk termenung memandangi hasil karyanya. Piring-piring itu masih utuh lengkap dengan isi dan posisinya tak berubah seperti saat ia dengan suka cita menghidangkan makan malam untuk keluarganya yang tercinta. 

**
Anak kecil itu masih asyik bermain dengan boneka Teddy Bear yang sudah usang. Ia bermain sendirian dalam sebuah kamar sempit dengah harga sewa yang murah. Ia tak peduli dengan keadaan sosial di sekitarnya, usianya baru lima tahun. 

**

“kakak, ibu kok belum pulang juga?” ia bertanya pada anak lelaki yang sedang sibuk memecahkan soal matematika. “ibu sedang bekerja dek, sebentar lagi Ia akan pulang. Kalau kau mengantuk, tidurlah. Akan aku sampaikan pada Ibu untuk memberikan kecupan hangat saat kau tidur, agar ibu hadir dalam mimpi indahmu.” Jawab anak lelaki itu dengan bijak. Ia sangat menyayangi adiknya, karena tak ada lagi yang ia miliki di dunia ini selain ibu dan adik perempuan satu-satunya.  Anak lelaki itu baru menginjak usia 10 tahun, tetapi ia sangat bertanggung jawab menjaga adiknya saat ibu mereka bekerja.

**

Desahan demi desahan sangat jelas terdengar dari sebuah bilik. Suara itu sangat jelas terdengar seperti film dari bak sampah lembaga sensor. Tak perlu dijelaskan apa yang mereka kerjakan. Beberapa saat kemudian kedua makhluk berlainan jenis itu keluar dengan wajah tanpa dosa. Pria itu memberikan sejumlah uang kepada wanita yang telah menemaninya sesuai dengan jumlah yang telah disepakati. Begitu murahnya sebuah kehormatan wanita, lalu apa arti kerja keras ibu kartini mengangkat derajat kaumnya sedangkan mereka sendiri menjatuhkan martabatnya.  

**

Aku beranjak dari batu karang tempatku terdiam, aku ingin pulang. Jujur, aku ragu apakah aku harus menjerumuskan diriku sendiri kedalam neraka ataukah aku tetap disini, memandangi anak-anak langit yang tertawa riang. Mereka menyebut dirinya ‘bintang.’

**

Aku membuka pagar dan memasukkan mobilku ke dalam garasi. Aku langsung menuju kamarku dan kulihat ibuku tertidur diatas meja makan. “ibu, ibu. Bangun bu.. “ aku membangunkan ibuku yang terlelap. Mungkin ia terlalu letih memandangi masakan yang tak ada seorangpun menyentuhnya. “oh, kamu sudah pulang nak, kemana saja kamu?” ibuku bertanta dengan nada penuh kasih sayang. “aku habis dari rumah teman bu.” Aku berbohong, aku sayang ibuku. Aku tak mungkin menceritakan seharian aku duduk diatas karang meratapi nasibku. Bahkan ibuku tak tahu penyakit HIV kini bersarang dengan nyaman di tubuhku. 

**

Anak lelaki itu telah selesai mengerjakan soal matematika beberapa saat sebelum ibu mereka pulang bekerja. Ia berlari dan memeluk ibunya dengan hangat.
Wanita yang mereka panggil ibu itu terlihat iba saat memandangi puteri kecilnya yang sedang terlelap berselimut sehelai kain tipis. Ia memberikan kecupan hangat kepada puterinya.

**

Pukul tiga pagi, ayahku pulang. Dan ibuku masih setia terjaga untuk menunggunya. Aku berpikir  ibuku adalah seorang malaikat, hingga hatinya sangat lembut menerima kehadiran pria jahanam yang telah ribuan kali kulihat merangkul wanita lain di pusat perbelanjaan. Aku terbangun dari tidurku karena mendengar makian dah hinaan ayahku ayas ibu. Aku tak habis pikir bagaimana mungkin pria bejat itu begitu tega memaki ibuku yang sudah rela menyerahkan hidupnya untuk ayahku, berusaha menjadi isteri yang sholehah, tapi bukan keharmonisan yang ia dapatkan.
Aku pun merasa bersalah atas penyakit ini. Aku telah mengecewakan ibuku. Limpahan materi namun minus kasih sayang keluarga yang utuh, aku leluasa membeli barang haram apapun dari uang yang ku miliki. Aku tak ubahnya seperti pria yang kulihat itu, memang. Tapi aku tak pernah memaki ibuku dengan lantang. 

**

Ayam berkokok, wanita cantik itu sedang bersolek di depan cermin. Ia tampak seksi menggunakan rok mini dan kaus ketat berwarna merah, dipadukan dengan jaket berbahan jeans dan make up tebal. Pekerjaannya mengharuskan ia tampil menarik, walaupun nantinya akan lusuh juga.
Sebelum berangkat, ia telah menyiapkan sarapan pagi untuk kedua anaknya yang masih terlelap. Ia harus segera berangkat sebelum ‘mami’ kebakaran jenggot karena anak buahnya belum datang. 

**

Aku bangun tepat ketika jarum jam bertumpuk menunjuk arah utara. Cahaya matahari menyengat tubuhku yang kotor ini. Ya, semalaman aku tidak bisa memejamkan mata karena suara ayahku begitu menggema memenuhi rumah kami.
Aku turun mencari ibuku, namun tak kutemukan ia dimanapun. “Mungkin ibu sedang menenangkan diri di rumah nenek.” Pikirku. Aku mengambil kunci mobil, aku ingin menikmati suasana kota Jakarta sebelum aku melewati detik-detik akhir hidupku, meninggalkan semuanya dan takkan kembali.  

**

Kamar itu terasa sesak oleh suhu tubuh dua anak manusia yanag sedang berpacu dalam birahi mereka, cukup lama mereka mereguk kenikmatan tanpa sadar akan dosa. “mas tiap hari kesini, memang isteri mas tidak marah?” wanita itu berujar
“ah, biarkan saja. Aku tak peduli lagi dengan isteriku. Mungkin saat ini ia sedang berlindung dibawah ketiak ibunya. Aku tak peduli.” Jawab pria itu tanpa perasaan.
Pria itu mengeluarkan dompet yang berisi uang untuk membayar jasa yang telah diberikan wanita itu atas dirinya. Ia meletakan uang itu diatas kasur tempat mereka menyalurkan hasrat. 

**

Cukup lama aku memacu mobilku tanpa tahu tujuan. Dan entah setan apa yang membisikkan rayuannya agar aku berbelok ke arah rumah bordir. Nafsu remajaku juga seakan berkoalisi menjerumuskanku dalam dosa. Ah, aku tak peduli. Toh aku juga akan mati karena penyakit nista ini. Penyakit yang kudapatkan dari barang haram.  Aku berpapasan dengan mobil ayahku, namun aku tak yakin. Mobil seperti itu sangat banyak di Jakarta, lagipula apa peduliku dengan orang yang tidak peduli denganku?
Aku sampai rumah bordir dan kulihat banyak sekali wanita berpakaian seksi menjajakan dirinya untuk disewa. Namun ada seorang wanita yang menarik perhatianku. Wanita itu mengenakan rok mini, lengkap dengan kaus ketat berwarna merah. Jaket berbahan jeans dan make up membuat ia semakin menarik. Aku menghampirinya, namun ia menolak melayaniku dengan alasan sangat letih. Namun atas iming-iming bayaran yang besar akhirnya ia bersedia. Aku diajak kedalam sebuah kamar, tercuim aroma yang tak asing bagiku. 

**

Aku meihat sebuah tas kerja teronggok di pojok, aku seperti mengenal tas itu. Ah, siapa peduli, aku kesini untuk menikmati hidup, pikirku. Saat aku sedang asyik memacu birahi, tiba-tiba pintu itu terbuka dan tanpa permisi, seorang lelaki masuk kamar kami tanpa permisi. “sayang, tas laptopku tertinggal.” Ujarnya. Aku menoleh ke arah suara, dan hampir aku mengalami serangan jantung dibuatnya. Astaga, DIA AYAHKU.  

 


END

komentar, kritik, dan sarannya ditunggu. thanks.
1 Response
  1. Zulfahmi K. Says:

    terima kasih atas komentarnya ya..


    Pengikut