Prinsip dan Pengorbanan


Cerita ini hanyalah fiksi belaka.
Gw (penulis) menggunakan sapaan ‘aku’ dalam cerita ini bukanlah sebuah harapan (Amit-amit dah jangan sampe kejadian). Murni hanya cerita fiksi tanpa ada maksud apapun. Bukankah Achdiat K. Mihardja juga menggunakan sapaan ‘aku’ dalam novelnya Atheis?? Atau Chairil Anwar yang juga menggunakan ‘aku’ dalam karyanya yang berjudul AKU.

Prinsip dan Pengorbanan
#1
Sayup-sayup kudengar alunan surah Yaasin dari dalan kamarku yang pengap ini. Ya, hari ini adalah hari kematian anakku yang berumur  10 tahuh karena kecelakaan. Aku hanya bisa diam diatas pembaringan tanpa bisa berbuat apa-apa. Ingin sekali aku memandikan, mengafani, dan membawa puteraku ke pemakaman dengan tanganku sendiri. Tapi apa daya, untuk berdiri saja aku tak mampu. Lumpuh yang menjamah tubuh kurusku yang semakin kurus ini membuatku kehilangan segalanya. Pekerjaan sebagai pemilik perusahaan kontraktor, sampai anakku satu-satunya diambil sang pencipta dengan cara yang tragis ketika ia sedang mengamen di lampu merah seusai pulang sekolah. 

Kondisi tubuhku yang demikian membuatku tak berdaya untuk membiayai pendidikannya. Jatuhnya harga saham dan dibatalkannya proyek besar yang bernilai milyaran rupiah membuat perusahaanku gulung tikar. Dana perusahaan telah dikucurkan sebagian besar untuk proyek itu, bahkan aku pun tak mampu membayar gaji pegawai dan hutang bank yang terus bertambah bunganya. Menyebabkan rumah mewahku beserta isinya dan kendaraan harus disita oleh pengadilan untuk melunasi hutangku. Akupun terserang stroke akibat kejadian ini, pindah kerumah sederhana daerah pinggiran kota membuat isteriku sering terlambat datang ke kantor karena ia harus mengurusku di pagi hari, yang pada akhirnya ia harus melepas pekerjaannya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan asing karena dianggap indisipliner. 

Ia berjuang sendirian membiayai kebutuhan keluarga, aku dan anakku yang saat itu berusia 7 tahun. Berjualan gado-gado dengan penghasilan minim juga harus disisihkan sebagian untuk membiayai pengobatanku. Kami yatim piatu dan tiada sanak saudara yang membantu kami. Ekonomi keluarga yang sulit menggerakkan hati anakku untuk membantu orang tuanya. Mengamen di lampu merah dilakukan usai sekolah hingga sore hari. Uang yang disapatnya ia gunakan untuk membeli pensil kayu dan sisanya ia tabung untuk melanjutkan sekolah di fakultas kedokteran. 

Aku hanya bisa pasrah pada tuhan, menangis pun aku tak mampu karena telah jatuh jutaan butir air mata saat awal keterpurukanku. Aku hanya dapat melihat wajah anakku untuk terakhir kalinya saat ia akan dibawa ke musholla untuk disholatkan. Ya, aku hanya bisa melihat dari kursi roda tanpa bisa mencium keningnya untuk terakhir kali. Isteriku yang membawaku keluar kamar barang sekejap.

#2
Beberapa bulan setelah kematian anakku, aku melihat isteriku sudah ikhlas atas kepergiannya. Aku memerintahkan isteriku untuk meninggalkanku dan menikah kembali dengan laki-laki lain yang dapat memberikan dia ketenangan. Itu kulakukan karena aku sangat mencintainya. Aku tidak sanggup melihat orang yang kucintai harus berjuang sendirian untuk diriku dan untuk dirinya sendiri. Aku tak sanggup untuk memberikan nafkah lahir sejak beberapa tahun terakhir, namun untuk nafkah bathin bukannya aku tak mampu, aku masih mampu melakukan hal itu, namun haruskah aku melihat isteriku seperti bercinya dengan sesosok mayat hidup.?? AKU.

Isteriku menolak.

Ia akan tetap setia mendampingiku sampai salah satu diantara kami menemui ajalnya. Bodoh. Ya, memang bodoh kedengarannya. Semua itu karena prinsip. Sebuah keteguhan hati yang berjalan statis. Persetan dengan prinsip. Ia hanya akan membuhuhmu jika kamu terus memegang prinsip itu tanpa bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang disekitarmu. Buang prinsip yang membuat dirimu tersiksa, dinamis mengikuti lingkungan sekitar dengan memegang nilai-nilai agama. Seperti halnya anak SMA yang mengatakan prinsipnya tidak akan berpacaran dengan teman kakak kelas karena sebuah trauma. Itu akan membuatnya tersiksa kala hati telah jatuh pada seorang kakak kelas dan kau dihantui oleh prinsip itu. Semua orang memiliki karakter yang berbeda, dan bukankah pertemuan kita dengan seseorang telah diatur tuhan?? Apa itu artinya kita berusaha menolak takdir?? Itulah yang kupikirkan. Mungkin memerintahkan ia pergi dariku adalah keputusan terbaik.

Isteriku tetap menolak. 

Sebelum kami menikah, almarhumah ibuku memberikan sebuah nasehat untuk memegang teguh prinsip. Isteriku mempunyai prinsip bahwa pernikahan adalah ikatan suci yang hanya dapat dipisahkan oleh tuhan. Itulah mengapa ia sampai sekarang tetap setia mendampingiku, entah karena cinta atau karena prinsip itu. Apapun itu aku merasa sangat berdosa ketika melihat isteriku hidup dalam sesengsaraan dan aku tak sanggup berbuat apapun. Lebih baik aku mati sekarang dan bermain dengan anakku di taman surga. Tapi tuhan berkehendak lain, aku masih diberikan kesempatan untuk hidup hingga sekarang. :)

Aku menghargai keputusan isteriku, sambil terus berdoa semoga tuhan terus memberikan isteriku kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani hidup ini. 


-tamat-

komentar, kritik dan sarannya ditunggu ya. terima kasih. :)
_fahmii_
5 Responses
  1. Hai Fahmi, aku suka dengan penggalan ceritamu. Mengapa saya bilang penggalan, karena ini bisa dilanjutkan atau dibuat flash back ceritanya. Sungguh menarik. Apal kamu suka menulis cerpen? Aku ingin dapat menulis cerpen tapi hasilnya kurang baik dan lebih memilih menulis essay dan opini. Atau kamu seorang freelance? Coba kirimkan saja cerpenmu ke beberapa media. Aku tunggu cerpen berikutnya.

    Visiting my blog, please and leave the comment
    http://raschelhutapea.blogspot.com
    http://raehtp.tumblr.com
    follow my twitter: @rererae


  2. Zulfahmi K. Says:

    wah bukan, saya masih mahasiswa, menulis cerpen bagi saya hanya hoby. mengisi waktu luang.
    waah, terima kasih ya. sebagus itukah cerpen saya??

    oke, blog kamu saya follow ya.


  3. Kan mahasiswa juga bisa jadi freelance.
    Kalau menurut saya sih bagus dan menarik. Kalau tatanan bahasa, saya kurang tahu (bukan ahlinya). Hehe...


  4. baunya masih klise melarat-laratkan kisahnya, hehehe. menurutku saja,,,, tengkyu


  5. Zulfahmi K. Says:

    terima kasih ya komentarnya.
    tapi masih lebih baik kan dibanding blog-blog lain yaang isinya hanya hasil copy paste?? :)


    Pengikut